Alkisah saat La Tenri Rawe Bongkange yang bestari menjadi Raja Bone ke-7 (1568-1584), tersebutlah seekor kuda jantan bernama La Bolong (si hitam) milik Arung Sanrego.
Sang kuda tak sengaja menemukan satu tanaman di hutan berbukit. Setiap kali La Bolong melahap tumbuhan itu, kontan berahinya memuncak. Sejurus kemudian langsung mencari kuda betina.
"Dalam sehari itu La Bolong mampu melampiaskan berahinya kepada 40 ekor kuda betina," cerita Andi Patawari kepada Beritagar.id (25/12/2017).
Kami menemui Andi Patawari --keturunan langsung Arung Sanrego-- di rumahnya yang juga merupakan Saoraja, rumah para raja-raja di Desa Tompong Patu, Kecamatan Kahu, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan.
Usianya kini mendekati 100 tahun, namun masih sehat dan fasih bercerita. Keperkasaan La Bolong telah menjadi legenda turun-temurun dalam keluarganya.
Menurut cerita, setelah La Bolong menampakkan keperkasaan, Arung Sanrego keheranan. Ia tertarik dengan kayu yang selalu dielus sang kuda. Lalu melakukan uji coba kepada beberapa hewan peliharaan lain, seperti kucing, anjing, dan ayam.
Caranya dengan merebus kayu tersebut. Ternyata reaksi yang sama terjadi. Semua hewan berahi tak terkira berkat kayu ajaib tersebut.
Setelah merasa cukup yakin, Arung Sanrego menguji khasiat kayu tadi kepada putranya, Bangkung Pettareng. Sesuatu yang tak biasa pun terjadi. Vitalitas Bangkung meningkat luar biasa. Alhasil 41 istrinya, kecuali yang pertama, semuanya hamil.
Bangkung lalu bersumpah akan membuat istri pertamanya juga bunting. Sumpah itu kemudian bisa terpenuhi tapi dengan cara yang unik sekaligus membuktikan khasiat bolong sanrego.
Konon saat meninggal dan jasadnya dimandikan, istri pertama keheranan melihat lase (penis dalam bahasa Bugis) Bangkung masih "hidup".
Dipersilakanlah permaisuri memasuki bilik dan menuntaskan hajat suaminya. Sembilan bulan kemudian, istri pertama melahirkan anak yang diberi nama I Ladica Puang Makuasa.
Sejak peristiwa itu, kisah soal kayu ajaib ini terkenal hingga ke seantero negeri. Mereka pun menyebutnya kayu bolong sanrego sebagai penghormatan kepada kuda milik Arung Sanrego. Tempat ditemukannya kayu tersebut hingga kini diberi nama Desa Sanrego.