Dulu, ada sepasang suami istri yang saling mencintai. Mereka adalah Majojaru dan Magohiduuru. Mereka tinggal di sebuah dusun bernama Lisawa. Meski hidup sederhana, mereka berdua bahagia.
Suatu hari, Magohiduuru mengutarakan keinginannya untuk memperbaiki kehidupannya. Dia ingin merantau, berharap mendapat pekerjaan dan penghasilan yang lebih baik. Sebelum berangkat, dia berjanji akan segera kembali dan menjemput istrinya. Magohiduuru berangkat dengan kapalnya.
Majojaru melepas kepergiannya dan berharap agar suaminya cepat kembali. Namun, harapannya tak terkabul.
Di perjalanan, kapal Magohiduuru terhempas badai. Kapalnya terbalik dan Magohiduuru tenggelam. Tubuhnya tak pernah ditemukan. Sementara itu, Majojaru masih setia menanti suaminya.
Hari demi hari berganti, tak terasa sudah enam bulan dia menunggu. Dia tak tahu kejadian yang menimpa suaminya.
Suatu hari, Kepala Dusun Lisawa menyampaikan kabar duka itu padanya. “Suamimu tenggelam, kapalnya terhempas badai,” kabarnya dengan raut wajah sedih. Majojaru tersentak, dia amat sedih.
Berhari-hari dia menangis di bawah pohon beringin sambil mengenang suaminya. Anehnya, air matanya mengalir tak terbendung. Alirannya semakin deras seperti sungai yang meluber. Lama-kelamaan, air mata Majojaru menenggelamkan pohon beringin dan sekitarnya. Tubuh Majojaru pun ikut menghilang seiring dengan meluapnya air matanya.
Luapan air mata itu membentuk sebuah telaga kecil. Airnya bening dan berwarna biru seperti warna bola mata Majojaru. Penduduk Desa Lisawa pun ikut bersedih. Mereka yakin, Majojaru telah menyusul suaminya. Sejak saat itu, daerah itu mereka namakan Telaga Biru. Penduduk berjanji untuk merawat telaga itu baik-baik.