Profesi guru adalah profesi yang sangat mulia. Tidak sembarang orang bisa mengembannya karena ini adalah amanah dari Allah Swt. Orang sering beranggapan bahwa guru adalah orang yang bertugas mengajar dengan memberi materi pelajaran kepada murid-muridnya. Tidak semudah itu. Jika seseorang sudah menyandang predikat sebagai guru, sudah seharusnya dia akan memberikan segala-galanya kepada anak didiknya. Semua yang dimiliki guru harus dicurahkan untuk anak didiknya tanpa meminta imbalan atau balas budi. Sebab, guru adalah sebuah amanah dari Allah Swt. maka segala amal kebaikan nantinya akan mendapat imbalan dari Allah Swt. pula. Guru akan ditempatkan derajatnya pada posisi yang paling tinggi. Itulah sebenarnya hakikat guru sejati. Untuk menjadi guru sejati tidaklah mudah. Dibutuhkan waktu yang lama agar gelar guru dapat menyatu di dalam jiwa maupun raganya. Menjadi guru tidak hanya sekadar sebagai pekerjaan, tetapi terkait dengan panggilan jiwa. Jadi, harus dihayati betul. Apabila orang bekerja berdasarkan panggilan jiwanya, ia akan unggul melampaui yang lain. Guru harus menyadari bahwasanya panggilan jiwa itu menuntut orang untuk memberikan kontribusi terbaik untuk orang lain. Maka dari itu, yang perlu dilakukan mulailah dari diri sendiri. Artinya, guru harus mengenal dirinya sendiri dan mampu mengembangkan ke arah terwujudnya pribadi yang sehat dan sempurna. Jangan sampai guru mempunyai perilaku yang buruk namun di lembaga formal menyuarakan suatu kebaikan. Selain itu, apabila panggilan jiwa telah
dimaknai dan diterapkan dalam kondisi profesionalisme guru maka barulah bisa menjadi panutan atau suri teladan (uswatun khasanah) bagi orang lain.
Masih banyak saudara kita, insan guru yang masih jauh dari harapan. Mereka bertindak dan berperilaku melenceng jauh dari norma-norma yang tidak semestinya dilakukan oleh guru sejati. Perilaku guru yang arogan telah mencederai dunia pendidikan saat ini. Amanah untuk mengasuh dan mendidik anak tidak diemban dengan hati yang tulus. Kita turut prihatin dengan kondisi semacam ini. Kalau kita mendengar maraknya kasus-kasus kekerasan, asusila, dan perbuatan negatif lainnya yang dilakukan oleh “oknum” guru kepada anak didiknya, siapa yang disalahkan. Sebuah pertanyaan yang
tidak butuh jawaban namun perlu kita renungkan. Maka, sekali lagi, kembali kepada diri kita masing-masing.