Di sebuah desa, ada seorang gadis piatu yang tinggal bersama ayahnya. Gadis itu bernama Bawang Putih. Saat Bawang Putih beranjak dewasa, ayahnya menikah lagi. Sekarang, Bawang Putih mempunyai ibu tiri dan juga seorang saudara tiri bernama Bawang Merah. Awalnya, si ibu tiri amat baik pada Bawang Putih. Demikian juga dengan Bawang Merah. Namun, lama-kelamaan sifat mereka berubah, apalagi setelah ayah Bawang Putih meninggal dunia. Mereka berdua bersikap sewenang- wenang terhadap Bawang Putih. Suatu hari, Bawang Putih pergi mencuci di sungai. Saat membilas, baju kesayangan ibu tirinya hanyut terbawa arus sungai. Bawang Putih ketakutan. Ibu tirinya pasti marah. Maka, dia memberanikan diri menyusuri arus sungai yang deras untuk menemukan baju itu. Dia terus berjalan, tetapi baju itu tak juga ditemukan. Padahal, hari semakin gelap. Bawang Putih menangis. Dia lelah dan takut. Saat itulah seorang nenek tua melintas. “Gadis cantik, apa yang kau lakukan di sini? Hari sudah malam,” tegur nenek itu. Sambil berurai air mata, Bawang Putih menceritakan masalahnya. Nenek itu mengeluarkan sesuatu dari keranjangnya. “Apakah ini bajunya?” Bawang Putih terbelalak senang melihat baju itu. Itu memang baju ibu tirinya. “Kau boleh mengambilnya kembali, tapi ada syaratnya. Kau harus membantuku membawakan keranjangku ini. Bahuku terasa pegal memanggulnya,” keluh nenek itu. Bawang Putih setuju. Dia merasa iba melihat tubuh renta si nenek. Meski keranjang itu cukup berat, tetapi Bawang Putih tak mengeluh sedikit pun. Setiba di rumah Nenek, Bawang Putih berpamitan. Sesuai janjinya, nenek tua itu mengembalikan baju ibu tirinya. Selain itu, dia juga memberi sebuah labu pada Bawang Putih. “Pilihlah, kau mau yang besar atau yang kecil?” tanyanya. Karena tak mau serakah, Bawang Putih memilih labu yang kecil. “Kami hanya tinggal bertiga. Labu ini cukup untuk kami semua. Tak perlu labu yang besar.” Bawang Putih pulang dengan hati senang. Sesampainya di rumah, dia menceritakan semua pengalamannya pada ibu tirinya, yang terus mengomel. Untuk menghentikan omelan ibu tirinya, Bawang Putih pun menunjukkan labunya. Dia lalu mengambil pisau dan membelah labu itu. Tak disangka, dari dalam labu itu keluar emas dan berlian yang amat banyak. “Di mana tempat tinggal nenek itu? Aku juga mau labu seperti ini!” teriak Bawang Merah. Bawang Putih lalu menjelaskan tempat dia bertemu dengan nenek itu. Dan, Bawang Merah pun pergi ke sana. Bawang Merah pura-pura menghanyutkan bajunya, lalu menangis seperti yang dilakukan Bawang Putih. Ternyata, nenek itu muncul lagi. Nenek itu lalu mengajukan syarat yang sama. Teringat akan cerita Bawang Putih, Bawang Merah pun setuju. Namun, berbeda dengan Bawang Putih, Bawang Merah terus mengomel. Sebentar-sebentar dia berhenti dan mengeluh kelelahan. Bahkan, saat perjalanan masih jauh, dia sudah tak mau lagi membawakan keranjang nenek itu. “Bawa saja sendiri, aku mau pulang saja. Tapi, sebelum aku pulang, aku minta labu!” ujarnya ketus. Nenek itu menghela napas dan mengeluarkan dua buah labu dari keranjangnya. “Ini. Mana yang kau pilih? Yang besar atau yang kecil?” Tanpa menjawab, Bawang Merah merebut labu yang besar dan segera berlari pulang. Di rumah, ibunya menyambut gembira. Mereka berdua lalu membelah labu itu. Namun, labu itu tak mengeluarkan emas dan berlian. Labu itu malah mengeluarkan binatang-binatang yang mengerikan seperti ular dan kalajengking. Mereka berdua berteriak ketakutan dan membuang labu itu jauh-jauh. Mereka berdua akhirnya menyadari bahwa mereka terlalu serakah. Sejak saat itu, mereka pun bersikap baik pada Bawang Putih.